analisis kejiwaan tokoh bekas pelukisdalam novel ziarah karya Iwan Simatupang berdasarkan pendekatan psikologis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sastra
adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Sastra adalah
kekayaan rohani yang dapat memperkaya rohani. Sastrawan dapat dikatakan ilmu
jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat,
bukan dengan teknis akademis melainkan melaui tulisan sastra.
Novel
“ziarah” karya Iwan Simatupang 1969, pada umumnya sulit dimengerti oleh
pembaca, sehingga untuk memahami Ziarah, pembaca perlu menggunakan kesadaran
filsafat tentang kehidupan dan kematian manusia, pemberontakan, dan kesadaran
sosial. Ziarah dianggap sebagai pembaharuan sastra modern karena keluar dari
konvensi tradisi hikayat dan menggunakan bahasa filsafat dan tokoh yang
disamarkan.
Ziarah
karya Iwan Simatupang membawa problematik yang tak habis-habisnya, dengan
segala kerumitannya ziarah memiliki sisi menarik yaitu penggambaran tokoh
dikenal tanpa nama, para tokoh dikenal dengan nama-nama profesi seperti; bekas
pelukis, opseter, walikota, dan sebagainya, karena tidak memiliki nama maka
jika tokoh tersebut beralih profesi maka penyebutan namanya pun sesuai profesi
yang digelutinya pada saat itu. Ziarah juga menceritakan tentang dua
pusat dunia yaitu kehidupan yang digambarkan oleh tokoh bekas pelukis yang
merupakan manusia yang bebas tanpa aturan hidup, tetapi semasa hidupnya
karya-karya yang luar biasa sehingga dapat dikenang oleh orang lain bila ia
meninggal. Sedangkan pusat dunia kedua yaitu kematian (perkuburan) yang
digambarkan oleh tokoh opseter yang sebagian besar hidupnya adalah kehidupan
pertapaan dan dihabiskan di daerah perkuburan saja, ketika meninggalpun ia
tidak meninggalkan apaun yang dapat dikenang. Dengan segala
kerumitannya dan sisi menariknya penulis mencoba menganalisis novel ziarah
karya Iwan Simatupang.
Sebagai manusia yang hidup dan berinteraksi
dengan sesamanya, sang pengarang dengan bermodalkan kepekaan jiwa yang dalam
senantiasa mencecap melalui pengamatan dan penghayatan terhadap masalah
kemanusian dan kehidupan ini. Kemampuan menangkap gejala-gejala kejiwaan dari
orang lain, oleh pengarang kemudian diolah dan diendapkan serta diekspresikan
dalam proses kreatif cipta sastra sehingga lahirlah karya sastra sebagai buah
kontemplatif sang pengarang. Dengan demikian, pengalaman kejiwaan yang semula
mengendap dalam jiwa pengarang telah beralih menjadi suatu master piece cipta
sastra yang terproyeksikan lewat ciri-ciri kejiwaan para tokoh imajinernya.
Tokoh dalam “dunia baru”, dunia rekaan sang pengarang.
Sastra sebagai “gejala-kejiwaan” yang di
dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang menampak lewat perilaku
tokoh-tokohnya, dengan demikian karya sastra (teks sastra) dapat didekati
dengan menggunakan pendekatan psikologi Roekhan (dalam Aminuddin, 1990:93).
Sesuai perkembangannya, pendekatan tekstual dalam psikologi sastra dewasa ini
tidak hanya bertumpu pada pendekatan psikologi dalam. Tetapi juga memungkinkan
dilakukan dengan pendekatan psikologi yang lain seperti pendekatan behavioral
yang berpijak pada anggapan bahwa kepribadian manusia adalah hasil bentukan
dari lingkungan tempat ia berada, termasuk rentetan peristiwa yang
membentuknya. Pendekatan psikologi behavioral ini mengabaikan anggapan
psikologi kognitif yang beranggapan bahwa faktor pembawaan sejak lahirlah yang
membentuk kepribadian manusia.
Kompleksitas unsur-unsur yang terdapat dalam
karya sastra, hal ini menuntut kepada kita berkaitan kajian sastra agar
memiliki suatu kepekaan emosi atau perasaan dalam menikmati unsur-unsur
keindahan cipta sastra; wawasan pengetahuan dan pengalaman yang luas terhadap
masalah kehidupan dan kemanusiaan baik lewat penghayatan secara
intensif-kontemplatif maupun dengan membaca berbagai literatur humanitas;
pemahaman terhadap aspek kebahasaan; serta pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik
cipta sastra yang berhubungan dengan telaah teori sastra.
B. Rumusan
Masalah
Berpegang pada
uraian latar belakang masalah di atas, kami mengidentifikasikan permasalahan
sebagai berikut:
1.
Bagaimana unsur intrinsik yang terkandung dalam novel Ziarah ?
2.
Bagaimana kejiwaan
tokoh bekas pelukis pada novel Ziarah ?
C.
Tujuan
1.
Dapat mengetahui dan memahami unsur intrinsik
novel Ziarah.
2.
Dapat mengetahui kejiwaan tokoh bekas pelukis
pada novel Ziarah.
D. Manfaat
Penelitian
a)
Bagi Peneliti
a.
Sebagai bekal
pengalaman di bidang penelitian yang berhubungan dengan analisis psikologis
tokoh cerita dalam suatu karya sastra yang berupa novel.
b.
Mengetahui gambaran
secara obyektif tentang aspek psikologis
tokoh bekas pelukis dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang.
b)
Bagi Peneliti
Selanjutnya
a.
Sebagai dasar atau
refrensi lebih lanjut bagi penelitian yang akan datang.
b.
Sebagai bahan yang perlu diteliti lebih lanjuut
kebenarannya tentang teori yang disusun oleh peneliti agar sesuai dengan hasil
penelitian yang diharapkan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Penelitian
Terdahulu
Novel
ini pernah dikaji oleh Dami N Toda dalam tesisnya yang berjudul Novel Baru Iwan
Simatupang yang selesai ditulis pada tahun 1974, kemudian terbit dalam bentuk
buku dengan judul yang sama pada tahun 1980. Berdasarkan hasil analisis data
diperoleh kesimpulan. Iwan Simatupang mempunyai ciri dalam satu tema pokok yang
sama dalam novel-novelnya, yakni “kegelandangan”. Kegelandangan itu bukan dalam
cita rasa material, tetapi mendukung bersusun-susun pertanyaan tentang
“kesunyian”. Kesunyian manusia setelah kematian menyusup bagai “peluru buta”
dari malam gelap, menguburkan segala kegairahan manusia untuk hidup menurut
akal budi dan jadwal rencana kebahagiaan. Penguburan atau pemakaman tanpa
persetujuan manusia lebih dulu, tanpa upacara.
Novel
Ziarah juga pernah dikaji oleh Ekarini Saraswati dengan judul Struktur Psikis
Tokoh Utama Ziarah Karya Iwan Simatupang Dan Novel Saman Karya Ayu Utami:
Sebuah Analisis Komparatif Dengan Pendekatan Psikoanalisis Sitgmund Freud.
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan. Tokoh Pelukis dalam
Ziarah memiliki superego dalam dirinya.
B.
Landasan Teori
a)
Unsur –unsur yang
terkandung dalam novel
Sebagai salah satu genre sastra, novel serta
karya fiksi lainnya seperti cerpen, novelet, dan roman mengandung unsur-unsur
meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3) media penyampai
isi yang berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur
intrinsik yang membangun karya fiksi sehingga menjadi suatu wacana (Aminuddin,
2004:66). Unsur-unsur prosa fiksi meliputi tokoh dan penokohan, latar/setting,
alur atau plot, sudut penceritaan/sudut pandang, gaya, tema, dan amanat (Abdul
Rani, 2004:86; Salamah, 2001:37)
Unsur-unsur tersebut, lebih jauh ditegaskan
oleh Abdul Rani (2004:86-69) berikut.
(1) Tema
Tema merupakan inti atau pokok yang menjadi
dasar pengembangan cerita, yang merupakan unsur intrinsik terpenting dalam
novel/cerpen. Untuk mengetahui tema novel/cerpen, pembaca harus mencermati
seluruh rangkaian cerita. Tema dalam sastra bisa diangkat dari berbagai masalah
kehidupan sesuai zamannya. Baik menyangkut kemanusiaan, kekuasaan, kasih
sayang, kecembutruan, dan sebagainya.
(2) Alur
Alur (plot) sebagai unsur intrinsik karya
sastra merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab
akibat. Pla pengembangan cerita tidak selalu sama dalam setiap karya fiksi.
Pada umumnya suatu alur (plot) cerita terbagi dalam bagian-bagian berikut: Pengenalan situasi cerita (exposition), Pengungkapan peristiwa (complication), Menuju pada adanya konflik (rising action), Puncak konflik (turning point), dan Penyelesaian (ending)
(3) Latar (setting)
Fungsi latar adalah untuk meyakinkan pembaca
terhadap jalannya suatu cerita. Sehingga setiap peristiwa maupun para pelaku
yang ditampilkan dalam cerita seakan-akan ada dan benar-benar terjadi. Latar
meliputi tempat, waktu, suasana, dan budaya yang melingkupi cerita. Latar bisa
faktual maupun imajiner.
(4) Penokohan
Penokohan adalah suatu cara pengarang
menggambarkan dan mengembangkan karakter/perwatakan para pelaku dalam cerita.
Untuk menggambarkan karakter tokoh, pengarang bisa menempuh: (a) teknik
analitik, yakni dengan menceritakan perwatakan tokoh secara langsung; dan (b)
teknik dramatik dengan mengemukakan karakter tokoh melalui penggambaran fisik
dan perilakunya, lingkungan kehidupannya, tata kebahasaannya, jalan pikirannya,
serta perannya dengan tokoh lain.
(5) Sudut Pandang (Point of view)
Adalah posisi pengarang dalam menampilkan
cerita, yang terdiri dari: pengarang berperan langsung sebagai orang pertama /”aku”tokoh yang
terlibat dalam cerita, pengarang berperan sebagai pengamat atau bertindak sebagai orang
ketiga.
(6) Amanat
Amanat merupakan suatu pesan pengarang yang
dituangkan melalui karyanya, bisa menyangkut pesan moral, didaktis, dan
sebagainya. Untuk mengetahui amanat, pembaca harus secara cermat mengikuti
seluruh cerita sampai tuntas.
(7) Gaya Bahasa
Gaya bahasa dalam karya sastra merupakan daya
tarik dan sebagai cara pengarang mengajuk pikiran dan emosi pembaca.
b)
Teori psikologi
Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya
peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau
pelaku-pelakunya, pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehinggga
terjalin suatu cerita disebut dengan tokoh (Aminuddin, 2004:79). Kusdiratin (dalam
Depdiknas, 2005:57) mengatakan bahwa tokoh dalam karya fiksi selalu mempunyai
sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemerian watak pada tokoh
suatu karya sastra oleh pengarang disebut perwatakan.
Psikologi
sastra adalah suatu kajian yang bersifat tekstual terhadap aspek psikologis
sang tokoh dalam karya sastra. Sebagaimana wawasan yang telah lama menjadi
pegangan umum dalam dunia sastra, psikologi sastra juga memandang bahwa sastra
merupakan hasil kreativitas pengarang yang menggunakan media bahasa, yang
diabdikan untuk kepentingan estetis. Karya sastra merupakan hasil ungkapan
kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di dalamnya ternuansakan suasana
kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa/emosi Roekhan
(dalam Aminuddin, 1990:88-91).
Psikologi
sastra merupakan gabungan dari teori psikologi dengan teori sastra. Sastra
sebagai “gejala kejiwaan” di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan
yang nampak lewat perilaku tokoh-tokohnya, sehingga karya teks sastra dapat dianalisis
dengan menggunakan pendekatan psikologi. Antara sastra dengan psikologi
memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional, demikian
menurut Darmanto Yatman (Aminuddin, 1990:93). Pengarang dan piskolog kebetulan
memiliki tempat berangkat yang sama, yakni kejiwaan manusia. Keduanya mampu
menangkap kejiwaan manusia secara mendalam. Perbedaannya, jika pengarang
mengungkapkan temuannya dalam bentuk karya sestra, sedangkan psikolog sesuai
keahliannya mengemukakan dalam bentuk formula teori-teori psikologi.
Karya
sastra yang dapat dijadikan bahan kajian melalui pendekatan secara psikologis
adalah karya-karya sastra yang mengembangkan kejiwaan tokoh-tokohnya, yakni
karya prosa dan drama. Lebih jauh ditandaskan bahwa pendekatan tekstual dalam
psikologi sastra yang bertumpu pada pendekatan psikologi dalam (pendekatan
ekspresif dan pendekatan pragmatis), kemudian berkembang melalui
pendekatan-pendekatan psikologi yang lain seperti pendekatan kognitif,
behavioral, ghanzeid, dan pendekatan eksistensial Roekhan (dalam Aminuddin,
1990:94).
Penerapan
pendekatan behavioral dalam studi psikologi sastra, harus dilakukan dengan
mengikuti tahapan berikut:
1.
Mencari dan menentukan
tokoh cerita yang akan dikaji;
2.
Menelusuri perkembangan
karakter sang tokoh yang dikaji, terhadap (a) perilaku sang tokoh, (b) dialog sang tokoh,
dan (c) pikiran sang tokoh;
3.
Mengidentifikasi
macam-macam perilaku sang tokoh dan mendeskripsikan serta
mengklasifikasikannya;
4.
Mengidentifikasi
lingkungan yang telah membentuk perilaku sang tokoh;
5.
Menghubungkan perilaku
yang muncul dengan lingkungan yang melatarinya (Aminuddin, 1990:97).
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Unsur Intrinsik Karya
1.
Tema : kegelisahan manusia setelah kehilangan istrinya
karena kematian. “Begitu malam jatuh, perutnya dituangkan arak penuh-penuh,
memanggil Tuhan keras-keras, kemudian meneriakan nama istrinya keras-keras,
menangis keras-keras, untuk pada akhirnya tertawa keras-keras.” (Ziarah 2001:1)
2. Tokoh dan Penokohan :
a)
Tokoh kita/pelukis/pengapur
Pelukis adalah manusia bebas, tidak suka dengan aturan,
hidupnya mengikuti alam semesta. Sebelum istrinya meninggal ia adalah pelukis
berbakat yang hidupnya sangat bahagia bersama istrinya yang dinikahi dengan
cara tidak lazim, karya-karyanya dikagumi orang-orang dari segala penjuru
negeri. “Dia dulu hanya pelukis, titik. Gagasan seni yang
muluk-muluk, dia tak punya. Seluruhnya diserahkannya kepada pergeseran
dirinya dengan alam semesta.”(Ziarah 2001:67). Tetapi, setelah istrinya meninggal
ia berubah menjadi pemabuk dan bertingkah layaknya orang gila yang suka
menagis, tertawa, dan berteriak memangil nama istrinya. “Begitu malam jatuh, perutnya
dituangnya arak penuh-penuh, memanggil Tuhan keras-keras, kemudian meneriakan
nama istrinya keras-keras. Tawa keras-keras ini menjadi isyarat bagi
orang-orang yang menuntunnya pulang ke satu kamar kecil, di satu rumah kecil,
di pinggir kota kecil.”(Ziarah 2001:1). Setelah beralih profesi menjadi
seorang pengapur ia adalah orang yang rajin, menyenangi pekerjaannya. Namun
sangat tidak suka pekerjaan yang berkaitan dengan kuburan.“Dan oleh sebab dia
memang tenaga yang sungguh-sungguh, artinya dalam batas-batas paling banyak
lima jam berturut-turut sehari, mereka suka sekali mengunakan tenaganya. Kerja
apa saja diterimanya. Mencuci piring di kedai, menjaga orok di rumah yang orang
tuanya perlu berpergian, membersihkan pekarangan rumah, menjadi kacung bola
tenis, dan seterusnya. Tapi bila ditanyakan kepadanya jenis kerja mana yang
paling suka dilakukannya, dengan mata bersinar-sinar dia akan menjawab:
mengecat atau mengepur rumah.”(Ziarah 2001:5) Setelah menjadi pengapur tembok
perkuburan sikap dan pikirannya banyak mengalami perubahan dan akhurnya dapat
menerima kenyataan bahwa istrinya telah tiada. “Maksud saudara adalah memaksa saya
ziarah kekuburan istri saya. Dua perbuatan yang satu sama lainnya berbeda
sekali sifatnya. Tapi saudara telah tidak hanya memperkosa logika sampai disini
saja. Saudara mengetahui alasan-alasan keberatan saya terhadap ziarah. Yang di
dalam tanah ini bukanlah istri saya lagi. Sedikitpun ia tak punya sangkut paut
apa-apa dengan saya, dengan orang yang dulu jadi istri saya. Istri saya telah
mati kata orang.”(Ziarah 2001:127) ssi
b)
Opseter
Opseter adalah seorang mahasiswa filsafat yang mengasingkan
dirinya dengan bekerja menjadi seorang opseter. Ia adalah putera satu-satunya
dari hartawan kaya. Ia adalah mahasiswa yang pintar, cerdas, selalu berfikir
secara kritis. “Walaupun dia sama sekali belum pernah menerima pendidikan
teknik ataupun pertukangan, namun berkat kecerdasan otaknya, dan terutama
berkat kebiasaan berfikir secara berdisiplin dan kritis selama sekian tahun mengikuti
kuliah-kuliah filsafat, ditambah jiwa artistiknya dan daya fantasinya yang
sanngat potensial, maka seluruh kejuruan dan ketangkasan yang diharapkan dari
seorang opseter pengawas perkuburan segera dapat dimilikinya.”(Ziarah 2001:32)
c)
Istri Pelukis
Seorang istri yang mau menerima suaminya dengan apa adanya,
dari dia lah suaminya(pelukis) banyak belajar. “Dan laki-laki yang menjadi suaminya
kini, adalah hanya sebagian saja dari kenyataan itu. Oleh sebab itu, dia menerimanya
tanpa menanyakan kartu jenis darahnya dari palang merah. Dia menerima
kepelukisannya.”(Ziarah 2001:97)
d) Mahaguru
Mahaguru di sebuah Universitas Ilmu
Filsafat. Orang yang bijaksana, karena meskipun dia adalah seorang Mahaguru namun ia
masih mau belajar dari muridnya (opseter kedua). “Sungguh banyak yang telah saya
pelajari dari dia. Lebih banyak lagi yang bakal saya terima dari dia, tiap hari
saya mengajukan pertanyaan padanya, sekedar untuk memancing pelajaran bagi
dirinya sendiri.”(Ziarah 2001:136)
e)
Ayah Opseter
Ayah sekaligus hartawan yang kaya
raya, sangat menyayangi dan peduli terhadap anaknya, serta ingin anaknya
mewarisi semua harta kekayaannya, “Adakah seorang muda yang tampan
seperti dia, kaya raya seperti dia, dan pintar seperti dia, layak menghabiskan
tahun-tahunnya di sekitar perkuburan tua itu?”(Ziarah 2001:43)
f)
Walikota
Tokoh pendendam namun ia
menyembunyikan rasa dendamnya, ia tidak menyukai warga kotanya, ia menjadi
walikota karena ingin menuntaskan manusia-manusia kerdil dekil, yang selama ini
tak sedikitpun mendapat penghargaan. “Ia menerima pemilihan dan
pengangkatannya sebagai walikota dulu hanya untuk sekedar menggunakan
kedudukannya sebagai kesempatan sebaiknya untuk pada suatu saat nanti
membalaskan dendamnya pada mereka, pada manusia-manusia dari jenis mereka, kerdil,
dekil, pandir, bernaluri makan dan pakaian saja tak lebih.”(Ziarah 2001:19)
g)
Wakil Walikota
Seorang wakil yang tidak egois, selalu mengalah, dan
bertanggung jawab. “Selamat! Saudara saya doakan jadi walikota seumur hidup.
Ah! Saudara manusia berbahagia.”(Ziarah 2001:85)
h)
Kepala Negara
Pemimpin yang bijaksana dan
berwawasan filsafat. “Pada suatu hari, kepala negara memiliki pesawat terbang
pribadinya dan terbang ke kota kecil tempat tinggal opseter perkuburan muda
yang telah menjadi biang keladi dari seluruh heboh dan malapetaka yang menimpa
negeri yang sedang dikepalainya.”(Ziarah 2001:37)
i)
Perdana Mentri
Perdana mentri yang memiliki sifat
sentimentalitas dan tidak suka terhadap segala sesuatu yang berbau filsafat. “Dalam pidato pengangkatannya sebagai
kepala negara yang baru, beliau meminta kepada perdana menteri baru yang masih
bakal diangkat lagi, agar nanti sudi mencantumkan sebagai program kerjanya,
diantaranya membatasi arti dan pengaruh Shakespeare dan pengarang-pengarang
lainnya hanya sampai bidang-bidang kesenian dan kebudayaan saja.”(Ziarah
2001:40)
j)
Ibu Hipotesis
Ibu dari istri pelukis yang telah
lama meninggalkannya di panti asuhan sejak ia masih kecil. Ia adalah korban
perkosaan oleh serdadu-serdadu pada saat perang. “Jadi wanita ini rupanya ingin
berkata, bahwa anak hipotesisnya itu adalah seorang perempuan, dan bahwa saya sebagai menantu hipotesisnya,
tentulah menurut teorinya yang hipotesis itu kawin dengan anak hipotesisnya
itu.”(Ziarah 2001:119)
k)
Brigadir polisi
Bersifat baik hati dan pengertian,
tidak mengambil keputusan semata-mata karena hukum dan Undang-undang, melainkan
karena sisi kemanusiaan. “kebahagiaan yang mereka nikmati
kini hendaklah sepenuhnya dan seutuhnya dapat mereka nikmati. Ah, persetan
dengan undang-undang dengan hukum, terlebih dengan hukuman! Katanya, dan ia
bergegas pulang ke rumahnya.”(Ziarah 2001:76)
3. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam novel ini
adalah sudut pandang orang ketiga. Narator (pencerita) tidak terlibat langsung
dalam peristiwa. “Tokoh kita tak suka pada opseter ini, sebagaimana dia tak
menyukai siapa saja yang lapang kerjanya sedikit banyak ada hubungannya dengan
orang mati.”(Ziarah 2001:6)
4. Latar
a)
Tempat
Perkuburan : adalah tempat bekas pelukis bekerja sebagai
pengapur dan opseter menjalankan tugasnya mengurusi perkuburan. “Sudah tiga hari berturut-turut dia
mengapur tembok luar perkuburan Kotapraja.” (Ziarah 2001:11)
Rumah dinas opseter : tempat tinggal opseter. “Tiga hari pula lamanya sang opseter
terus-menerus mengintip dari celah-celah pintu dan jendela rumah dinasnya di
komplek perkuburan itu.”(Ziarah 2001:11)
Hotel : tempat tinggal pelukis setelah meninggalkan rumahnya
setelah diusir oleh pemilik kontrakan, ia kebingungan dengan banyaknya uang
yang ia peroleh maka ia tinggal di hotel. “Dan dia pun keluar saat itu juga.
Uangnya disuruh angkutnya dengan cikar ke hotel. Mulai hari itu, dia diam di
hotel-hotel dan di losmen-losmen. Karena ia punya uang banyak sekali, dia dapat
menyewa kamar terbaik.” (Ziarah 2001:69-70)
Tepi Pantai : tempat pelukis dan istrinya tinggal selama
diasingkan oleh warga kota. “Letih sekali mereka berdua akhirnya
tiba di pantai. Di situ tak akan ada yang menggubris mereka. Pelukis segera
mendirikan semacam gubuk rumbia yang diempaskan ombak-ombak ke situ.” (Ziarah
2001:77)
Stodio Lukis : tempat pelukis tinggal sekaligus tempat ia
menempatkan lukisan-lukisannya. “lagi pula, di manakah rumah tiap
pelukis? Tentu di sanggarnya. Apa dan dimanakah sang pelukis? Tentu
dirumahnya.” (Ziarah 2001:70)
5. Alur
Alur
yang digunakan pengarang pada novel Ziarah adalah sorot balik.
a) Tahap pengenalan adalah tahap
peristiwa dalam suatu cerita rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh
atau latar cerita. Dalam Ziarah tahap pengenalan digambarkan pada saat
pengenalan tokoh pelukis dan opseter serta kebiasaan da tingkah parah tokoh
sesuai dengan pekerjaannya masing-masing.
b) Konflik atau tikaian adalah
ketegangan atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua
kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan tau drama. Konflik dalam Ziarah
dimulai dengan pernikahan pelukis dengan istrinya (alur mundur, kembali mengisahkan
bagaimana pelukis bertemu dengan istrinya). Pernikahan tersebut membuat pelukis
hidup bahagia bersama istri yang dicintainya.
c) Komplikasi atau rumitan adalah
bagian tengah alur cerita rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian. Dalam
tahap ini, konflik yang terjadi semakin tajam karena berbagai sebab dan
kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh. Tahap komplikasi yaitu pada
peristiwa kematian istri pelukis yang menjadi awal penderitaan pelukis, pada
tahap inilah pelukis menderita ditinggalkan istrinya. Ia mulai dikenal sebagai
pemabuk, sering berteriak-teriak memanggil istrinya, berteriak menamggil Tuhan,
sering menangis dan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dan dia sangat membenci
hal-hal yang berkaitan dengan perkuburan.
d) Klimaks adalah bagian alur cerita
rekaan atau drama yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari
segi tanggapan emosi pembaca. Klimaks merupakan puncak rumitan, yang diikuti
oleh krisis atau titik balik. Klimaks terjadi saat opseter menyuruh pelukis
mengapur tembok luar perkuburan, kuburan adalah hal yang paling ia benci
termasuk opseter, semua hal yang berkaitan dengan perkuburan. Disini alur
kembali mundur pada pertemua pelukis dan opseter. Pelukis seolah dihantam badai
mendengar tawaran tersebut namun akhirnya dengan negosiasi tawaran tersebut
diterima dsn pelukis beralih profesi menjadi pengapur tembok perkuburan.
e) Selesaiaan dalam tahap ini semua
masalah dapat diuraikan, kesalahpahaman dijelaskan; rahasia dibuka. Tahap
selesaiaan adalah saat Maha Guru menceritakan riwayat hidup opseter dab
akhirnya pelukis atau bekas pengapur itu melamar pekerjaan menjadi opseter
perkuburan.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan Iwan Simatupang pada Ziarah
banyak menggunakan ungkapan-ungkapan dan majas-majas. Selain itu banyak
terdapat istilah-istilah filsafat di dalamnya. Majas Personifikasi : “Rasa riang
mendaki dalam dirinya.” (Ziarah 2001:2) “Oleh Praktek-praktek menjilat
atasannya dan menindas bawahannya.”(Ziarah 2001:20) “Mereka terbang ke pintu
gerbang.”(Ziarah 2001:28) Majas Hiperbola : “Tuan adalah nabi
seni lukis masa datang.”(Ziarah 2001:69) Istilah Filsafat : “kebenaran dari
jenis yang subtil, yakni yang memperhitungkan apa yang disebut nuans. Ya!”(Ziarah 2001:17)
7. Amanat
Amanat yang terdapat pada novel ini bahwa kematian tidak
perlu ditakuti, sebab kematian adalah abadi. Pastilah itu yang terbaik. Sediakanlah
tempat yang layak untuk orang-orang yang sudah mati adar ada tempat untuk
dikunjungi dan dikenang, karena sebagai manusia puncak tertinggi dari kehidupan
adalah kematian.
B. Kejiwaan Tokoh Bekas Pelukis (Tokoh Kita) Dalam Novel Ziarah
Karya sastra dapat didekati dengan menggunakan pendekatan
psikologi karena antara sastra dengan psikologi memiliki hubungan lintas yang
bersifat tak langsung dan fungsional. Bersifat tak langsung, artinya hubungan
itu ada karena baik sastra maupun psikologi memiliki tempat berangkat yang
sama, yakni. kejiwaan manusia. Pengarang dan psikolog sama-sama manusia biasa.
Mereka mampu menangkap keadaan kejiwaan manusia secara mendalam. Hasil
penangkapannya itu setelah mengalami proses pengolahan diungkapkan dalam bentuk
sebuah karya. Perbedaannya adalah sang pengarang mengemukakannya dalam karya
sastra, sedangkan psikolog, sesuai dengan keahliannya, ia mengemukakan dalam
bentuk formulasi teori-teori psikologi. Psikologi dan sastra memiliki hubungan
fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan
orang lain. Perbedaannya adalah bahwa gejala kejiwaan yang terdapat dalam
sastra adalah gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam
psikologi adalah manusia-manusia riil (Aminuddin, 1990: 93 ). ssi
Dalam Ziarah kita dapat melihat motif-motif
yang menyebabkan mengapa seorang menjadi optimis? Mengapa seorang menjadi
rindu? Mengapa seorang menjadi kecewa? Dan mengapa seseorang menjadi sunyi?
Tokoh kita begitu optimis melukis dan egonya sebagai
pelikis. Tetapi semangatnya luntur ketika dia mendapatkan uang banyak dari
hasil penjualan lukisannya. Dia bingung untuk menghabiskan uangnya, ia memilih
menghabiskan uangnya dengan bermain judi. Namun, tokoh kita selalu menang
sehingga uangnya semakin banyak. ”Dia bingung! Belum pernah uang
sebanyak itu disentuhnya. Karena bingungnya dia pada satu hari mempertaruhkan
semua uangnya itu di suatu pertandingan bola internasional di kotanya. Stand
terakhir adalah 13-0 dan – dia menang!” (Ziarah 2001:1)
Hidupnya berubah ketika dia menimpa seorang gadis saat tokoh
kita mencoba bunuh diri lompat dari jendela kamar hotelnya, dia jatuh tepat
diatas tubuh gadis itu dan entah bagaimana caranya dia menikah dengan gadis
itu. Perjalanan hidup tokoh kita yang bahagia berakhir ketika isterinya
meninggal.
Tokoh kita dalam Ziarah mengalami kecemasan dari
segala problematik dirinya terhadap kematian istri yang dicintainya. Dengan
kesetiaannya dia menantang kepahitan hidup dengan tabah, karena adanya secercah
harapan untuk bisa bertemu entah dimana dan kapan. “Juga pagi itu dia bangun dengan
rasa hari itu dia bakal bertemu isterinya disalah satu tikungan, entah tikungan
mana. Sedang isterinya telah mati entah berapa lama.” (Ziarah 2001:1)
Pertemuan itu bisa saja terjadi di alam roh. Karena di dunia
nyata tak mungkin sesuatu terjadi secara abadi sifatnya. Dan pada saat menunggu
saat-saat bertemu dengan apa yang diharapkan, segala asesiasi bebas terjadi
pada batin sang tokoh kita.
Tokoh kita dalam kecemasan yang luar biasa. Seakan hidupnya
tak lagi punya harapan. Kita hidup berdasarkan harapan, ketika harapan hidup
punah, manusia resah dan cemas. Bahkan bisa jadi putus asa dan gila. Maut tak
bisa dibayangkan. Ketika istri tercinta kita mati, maka maut seperti datang
kepada kita tanpa basa-basi dan tak bisa dibayangkan. “Rasanya seperti ini jadi
alasan tiap hari baginya untuk hidup. Paginya dia selalu gembira, sampai
saatnya dia bertemu salah satu tikungan, melaluinya tanpa bertemu isterinya.
Kekosongan sesudah tikungan ini membuat petang-petangnya tiba terlalu cepat.”
(Ziarah 2001:1)
Novel Ziarah Iwan dibuka dengan kematian sang istri tercinta
tokoh kita, di mana tokoh kita tampak linglung. Tokoh kita seperti mengalami
keputus asaan yang absolut, dia sering melontarkan kata-kata yang sering tak
beraturan dan menerabas tanda baca melaui gaya fantasi yang kekanak-kanakan.
Walau sejak kematian istrinya, ada alasan baginya tiap siang hari untuk terus
hidup. Namun ketika malam tiba, ia mabuk dan nyaris berada pada ambang
kegilaan. ”Begitu malam jatuh, perutnya dituangkan arak penuh-penuh, memanggil
Tuhan keras-keras, kemudian meneriakan nama isterinya keras-keras, menangis
keras-keras ... ....” (Ziarah 2001:1)
Tokoh kita pada awal kehidupannya, ia seorang pelukis.
Setelah kematian isterinya ia menjadi pengapur. Tokoh kita dalah
kehidupannya selalu menjauhkan diri dari masyarakat, memilih mengasingkan diri
hidup di tepi pantai, di tengah alam bebas, jauh dari masyarakat, tetapi
hidupnya sanggat dinikmatinya bersama isterinya. Walaupun ia mendapat undangan
untuk kembali ke kota agar para wisatawan asing dapat melihat lukisannya, namun
ia menolaknya. “Keadaannya yang seperti ini adalah sendiri lukisan terbaik
yang dapat diperlihatkannya kepada siapapun, termasuk pada tamu-tamu negara
terhormat itu.” (Ziarah 2001:85)
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa lukisan tokoh
kita bukan hanya gambaran hidup melainkan hidup itu sendiri. Tokoh kita merasa
diamati oleh ribuan pasang mata bersama isterinya, seakan-akan mereka adalah
lukisan kebahagiaan. Ketika tokoh kita menjadi pelukis, dilukisnya kehidupan
manusia, yang digambarkan dengan warna-warna beragam dalam lukisannya.
Sedangkan pekerjaan yang dijalankan tokoh kita setelah kematian isterinya
berubah begitu saja, dia menerima segala pekerjaan mencuci piring di restoran,
menjadi tukang kebun, memungut bola di lapangan tenis, dan lain-lain. Namun
walaupun demikian ada pekerjaan yang paling disukainya yaitu mengapur atau
mencat, dan pekerjaan yang teramat dia benci adalah menggali lobang kuburan.
Tokoh kita seakan tidak bisa menerima kematian istretinya, apapun yang
berhubungan dengan kematian ia sangat membencinya. “Kerjaan apa saja diterimanya.
Mencuci piring di kedai, menjaga orok di rumah yang orang tuanya perlu
berpergian, membersihkan pekarangan rumah, menjadi kacung bola tenis dan
seterusnya. Tapi, bila dianyakan pada jenis kerjaan mana yang paling suka
dilakukannya, maka denag mata bersinar-sinar dia akan menjawab: mencat atau
mengapur rumah tapi, ketika pada satu hari dia diminta ikut menggali lobang
kuburan, matanya terbelalak lebar-lebar. Kemudian lari kencang-kencang.”
(Ziarah 2001:6)
Sampai akhirnya tokoh kita meruntuhkan egonya terhadap
ketakutannya akan kesepian, kehilangan, keputus asaan setelah kematian
isterinya dia menyadari bahwa dia sangat mencintai isterinya, walupun selama
mereka menikah dia baru sadar dia tidak pernah tau nama isteri yang sangat
dicintainya itu. Tokoh kita memilih menjadi seorang opseter perkuburan untuk
tetap dekat dengan orang-orang yang dicintainya.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ziarah merupakan novel rumit dan
mengandung banyak nilai filsafat yang sulit dipahami. Namun dibalik segala
kerumitannya novel Ziarah memiliki sisi lain yang menarik, yaitu antara
lain melalui penggambaran tokoh yang dikenal tanpa nama, melainkan dikenal
dengan nama-nama profesi tokoh tersebut seperti, bekas pelukis, opseter,
walikota, dan sebagainya. Tema pada novel Ziarah adalah kegelisahan.
Manusia dihadapkan pada sebuah kematian, dihadapkan pada batas akhir hidup,
suka atau tidak suka, senang atau tidak senang harus dijalani. Ziarah banyak
majas-majas terutama majas personifikasi dan Hiperbola serta terdapat juga
istilah-istilah berbau filsafat.
Ziarah
memiliki
Tokoh utama yang disebut tokoh kita, memiliki keahlian dalam melukis, namun
semangatnya melukis luntur saat dia mendapatkan uang banyak dari lukisannya.
Dia bingung untuk menghabiskan uangnya. Saat dia mencoba bunuh diri karena
bosan dengan kehidupannya, saat itu juga dia bertemu dengan seorang gadis yang
menjadi istrinya. Perjalanan hidupnya yang bahagia berakhir ketika istrinya
meninggal. Dia kesepian. Dia setiap hari mencari tikungan dan berharap bertemu
isterinya. Namun hidupnya berubah suatu ketika tokoh kita berhasil mengatasi
egonya, berani menerima bahwa istrinya telah meninggal. Tokoh kita memutuskan
untuk menjadi seorang opseter perkuburan agar dia bisa terus dekat dengan
orang-orang yang dicintainya. ssi
Daftar Pustaka
K.S,
Yudiono. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo,2007.
Saraswati,
Ekarini, Struktur Psikis Tokoh Utama Ziarah Karya Iwan Simatupang Dan Novel
Saman Karya Ayu Utamu: Sebuah Analisis Komparatif Dengan Pendekatan
Psikoanalisis Sitgmund Freud .Jurnal Artikulasi Vol. 12 No. 2 Agustus 2011.
Diakses tanggal 12 April 2013
Simatupang,
Iwan. Ziarah Sebuah Novel. Jakarta: Djambatan, 2001.
Siswanto,
Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta:Grasindo, 2008.
Sumarjo,
Yakob. Pelopor Fiksi Non-Konvensional Dua Novel Iwan Simatupang, Pikiran
Rakyat, edisi Selasa 20 Juli 1982,h.7 kolom 1.
Suyitno,
Sastra Tata Nilai Dan Eksegensis. Yogyakarta: PT. Hanindita,1986.
Toda,
Dami N. Novel Baru Iwan Simatupang. Jakarta: Pustaka Jaya,1984.
0 komentar:
Posting Komentar