analisis novel di kaki bukit cibalak karya Ahmad Tohari berdasarkan pendekatan sosiologi dan sinopsis novel di kaki bukit cibalak karya Ahmad Tohari
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karya sastra
tidak bisa terlepas dari kehidupan manusia, karena di dalam kehidupan manusia
terdapat berbagai fenomena atau permasalahan yang terjadi sehingga apabila
dituangkan ke dalam sebuah karya sastra akan menarik. Suatu karya sastra
tidaklah cukup menarik apabila hanya diteliti dari aspek strukturnya saja tanpa
kerja sama dengan disiplin ilmu lain, karena yang terkandung pada karya sastra
pada dasarnya merupakan masalah masyarakat. Adakalanya seni juga dapat mewakili
kehidupan masyarakat pada saat karya sastra itu dilahirkan. Karya sastra
merupakan refleksi cipta, rasa, dan karsa manusia tentang kehidupan. Refleksi
cipta artinya karya sastra merupakan hasil penciptaan yang berisis keindahan.
Tanpa penciptaan, karya sastra tidak mungkin ada. Karya sastra merupakan
refleksi rasa dan karsa berartibahwa karya sastra diciptakan untuk menyatakan
perasaan yang didalamnya terkandung maksud atau tujuan tertentu. Hal ini
membuat karyasastra memiliki kelebihan dibandingkan dengan cabang seni lain,
baikdalam bentuk maupun sarana/media yang digunakan, yaitu kata-kata atau
bahasa (Suroso, 1995:14). Sastra dapat menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang
tidak dapat jauh dari budaya dengan keindahan yang disajikan dari tiap detail
ceritanya melalui bahasa tulis. Karya sastra menjadi bagian dari sosiologi
masyarakat ketika menjadi objek bacaan yang memengaruhi pola hidup masyarakat.
Kaitannya dengan masyarakat, sebuah novel sebagai hasil karya sastra perlu
dianalisis menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Rene Wellek dan Austin
Warren membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi, yaitu: sosiologi
pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi sastra yang mempermasalahkan
tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Yang terpenting
dalam pendekatan sosiologi sastra yakni keterkaitan langsung dengan masyarakat.
Meskipun demikian, pertimbangan terpenting adalah nilai estetika yang
terkandung dalam karya sastra itu sendiri. Salah satu hal
menarik dari novel adalah bentuk-bentuk sosial yang terkandung dalam novel Di
Kaki Cibalak karya Ahmad Tohari. Dimana bentuk-bentuk sosial yang terkandung
dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari ini dapat berupa mobiltas
sosial, perubahan sosial, konflik sosial. ssi
Berdasarkan
pembacaan awal novel Dikaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari, adapun rumusan
masalah dalam penellitian ini adalah
Bagaimanakah
struktur yang membangun novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari?
Bagaimanakah
bentuk-bentuk sosial yang terkandung dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak karya
Ahmad Tohari pendekatan sosiologi sastra?
Mengacu pada
rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Mendeskripsikan
struktur yang membnagun dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari
Mendeskripsikan
aspek-aspek sosial yang tergambar dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad
Tohari
PEMBAHASAN
Novel Di Kaki
Bukit Cibalak menceritakan kehidupan masyarakat di Desa Tanggir dengan segala
permasalahannya yang cukup kompleks. Cerita ini terinspirasi dari kehidupan di
Desa Tanggir yang berada di daerah kaki Bukit Cibalak. Itulah sebabnya novel
ini berjudul Di Kaki Bukit Cibalak. Novel Di Kaki Bukit Cibalak memiliki unsur
instrinsik sebagai berikut.
Tema
Tema novel ini
adalah kehidupan sosial. Secara garis besar, dalam novel ini muncul beberapa
konflik yang cukup kompleks, di antaranya adalah konflik sosial, percintaan,
dan batin, yang kesemuanya cukup berpengaruh terhadap kehidupan sosial para
tokohnya.
Tokoh dan Penokohan
Dalam novel
ini ditampilkan beberapa tokoh, seperti: Pambudi sebagai tokoh utama,
prinsipil, cakap, baik hati, rela berkorban, tidak mudah putus asa, bijaksana,
dan berumur 24 tahun; Sanis sebagai tokoh pendamping tokoh utama, anak modin di
Tanggir, cantik, menawan; Pak Dirga adalah seorang Lurah, pergaulannya luas,
luwes, pandai bermain bola, pandai berjudi, dan gemar berganti istri, curang,
licik dan jahat; Mulyani adalah gadis keturunan Cina, berparas cantik, kulitnya
putih kekuning-kuningan dia anak dari pemilik toko arloji di Yogyakarta tempat
Pambudi memperjuangkan nasib Mbok Ralem dan nasibnya sendiri; Pak Barkah adalah
pemimpin redaksi dan pemilik penerbitan Kalawarta, bijaksana, dan suka
menolong; Mbok Ralem adalah warga miskin di desa Tanggir, nrima, sakit. Selain
tokoh-tokoh tersebut, ada juga tokoh lain seperti Bu Lurah/Bu Runtah, Eyang
Wira, Bambang Sembodro, Topo, Poyo, dan lain-lain yang memiliki peran yang tidak
terlalu mencolok.
Latar
Latar dalam
novel Di Kaki Bukit Cibalak meliputi: latar tempat, yakni sekitar kaki Bukit
Cibalak, halaman balai desa, kantor Pak Dirga, rumah Mbok Ralem, di depan pasar
Desa Tanggir, Rumah Sakit, Yogyakarta, losmen, kantor Redaksi Kalawarta. Latar
waktu meliputi pagi hari, siang hari, sore hari, malam hari. Latar suasana:
kekaguman, ketegangan, ketakutan, bahagia, sedih. Latar sosial dapat dilihat
dari kutipan berikut.
“...Sekarang
terowongan yang berada di bawah belukar puyengan itu lenyap, berubah menjadi
jalan setapak...”(DKBC: 6)
“...Di sekitar
kaki Bukit Cibalak, tenaga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan.
Burung-burung kucica yang telah turun temurun mendaulat belukar puyengan itu
terpaksa hijrah ke semak-semak kerontang yang menjadi batas antara Bukit
Cibalak dan Desa Tanggir di kakinya...” DKBC: 6).
“...Tiap-tiap
calon mempunyai beberapa orang botoh yang mempunyai tugas sebagai pegumpul
suara...”DKBC: 14).
Alur
Novel Di Kaki
Bukit Cibalak memiliki alur maju. Alur ini digambarkan dari kejadian awal Pak
Dirga menjabat sebagai Lurah desa Tanggir, mundurnya Pambudi dari kepengurusan
koperasi desa, hingga akhirnya Pak Dirga mundur dari jabatannya.
Konflik Yang Terdapat Dalam Novel Dikaki Bukit
Cibalak
Banyak hal
dapat ditemukan di dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak, namun yang dominan muncul
adalah konflik sosial yang terjadi di desa Tanggir. Konflik ini terjadi karena
ketidakberesan pemerintahan lurah desa Tanggir yang biasa dipanggil dengan nama
Pak Dirga. Dari awal kompetisi pemilihan lurah, dia sudah menunjukkan
kecurangan yang akhirnya mengantarkannya duduk sebagai lurah desa Tanggir.
Setelah menjadi lurah, dia melakukan penyelewengan dana kas lumbung koperasi
desa Tanggir. Dia tidak mau menolong Mbok Ralem yang notabennya warga miskin
yang membutuhkan bantuan pemerintah desa demi penyembuhan penyakitnya. Pak
Dirga bersama Poyo (pengurus lumbung desa Tanggir) melakukan manipulasi pada
laporan keuangan lumbung desanya.
Uang yang
seharusnya dialokasikan untuk keperluan masyarakatnya justru digunakan untuk
kepentingan pribadi Pak Dirga dan Poyo. Kedaan desa Tanggir semakin kacau
dibawah kepemimpinan Pak Dirga yang sangat tidak amanah. hal ini, kekuasaan
dimiliki oleh orang yang kuat, meskipun kekuatan itu adalah kekuatan yang penuh
dengan kelicikan dan kecurangan. Selain konflik politik yang penuh kecurangan,
muncul konflik batin. Konflik batin menjadi bagian yang peneliti amati karena
dalam konflik ini berimbas pada tindakan yang berkaitan dengan orang lain. Dalam
novel ini digambarkan suatu konflik batin yang dialami oleh Pambudi saat
memilih untuk mundur dari kepengurusan lumbung koperasi karena dia tidak
sepemikiran dengan pengurus lainnya dan lurah desa Tanggir. Namun, Pambudi
ingin membantu masyarakat desa Tanggir yang membutuhkan bantuan. Untuk solusi
hal ini, Pambudi memilih untuk membantu dengan caranya sendiri. Konflik lainnya
adalah konflik percintaan. Konflik ini dimunculkan oleh tokoh Sanis. Dia berada
di kondisi yang cukup rumit. Sanis yang merupakan gadis desa yang polos, yang
menaruh hati pada lelaki yang berumur jauh
lebih dewasa darinya mulai terlibat konflik percintaan ketika dia dipinang oleh
Pak Dirga. Pak Dirga yang saat itu sudah beristri Bu Runtah masih berkeinginan
menikahi Sanis. Sanis maupun ayahnya tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolak
kehendak Pak Dirga karena pada zamannya jabatan seorang lurah sangat ditakuti
oleh warganya. Sehinga mau atau tidak mau, Sanis harus tetap bersedia menjadi
istri muda lurah Dirga. Di sisi lain, anis masih memiliki rasa kepada Pambudi.
Namun, ketika Pambudi pulang ke Tanggir, ternyata Pambudi sudah menjalin
hubungan dengan Mulyani. Selain konflik-konflik tersebut, unsur sosiologis
budaya dari novel ini juga sangat menarik. Banyak nuansa Banyumas yang ditampilkan
dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak. Dari setting tempat, novel ini berlatarkan
lokasi di daerah kaki Bukit Cibalak yang memang secara fisiknya ada di daerah
Banyumas. Dari segi bahasanya juga ada beberapa bahasa atau istilah dari
Banyumas yang dimunculkan oleh pengarang. Nama tokoh yang dimunculkan dalam
cerita juga cukup identik dengan nama-nama pada masyarakat Banyumas di
zamannya. ssi
Dalam
sosiologi sastra didalamnya terkandung bentuk sosial yang ada didalamnya. Salah
satu bentuk sosial itu ialah konflik dan beberapa bentuk sosial lainnya. Maka
bentuk sosial (terutama bentuk konflik) dalam Novel Dikaki Bukit Cibalak ini
sebagai berikut.
Kriminalitas
Kriminalitas
disini khususnya berupa pencurian. Pencurian tersebut berupa pencurian kayu
jati, dan benda berbentuk tabung. Hal ini bisa dilihat pada kutipan berikut :
“ Pagi-pagi mereka pergi kepasar membawa
apa-apa untuk dijual disana. Biasanya mereka menjual akar kayu jati yang mereka
gali dari lereng-lereng kaki bukit Cibalak. Atau daun pohon itu meskipun mereka
memperolehnya dengan mencuri”. (hal. 7 )
“Pak Danu ingin memamerkan sebuah tabung
yang dicurinya dari rumah Akiat, sambil berpropaganda dengan bangga...” (hal. 7
)
Krimininalitas
selanjutnya ialah berupa suapan atau imbalan berbau kotor. Dimana salah satu
calon kades didesa tersebut memberi uang suap kepada kakek seorang dukun agar
calon kades itu bisa memenangkan pemilihan kepala desa. Dapat dilihat dalam
kutipan novelnya.
Berikut
kutipannya :
“ Disana ada seorang kakek sedang membaca
mantra. Tentu ia telah dibayar oleh seorang calon agar “ wahyu “datang kepada
seorang calon yang telah memberinya uang”. (hal. 14 ).
Krimininalitas
selanjutnya ialah berupa pemfitnahan. Bentuk pemfitnahan ini ialah upaya Pak
Lurah dan Sekdes nya untuk mengusir Pambudi dari desa Tanggir. Dapat dilihat
dalam kutipan novelnya. Berikut kutipannya
“ Ya, Pak. Tetapi dalam buku yang kedua ada
pengeluaran sebesar 125.000 atas tanggung jawab seseorang.”
“ Pambudi.” (hal.
59)
Perselisihan
Salah satu
bentuk konflik sosial ialah perselisihan, dimana peeselisihan ini terjadi
antara dua tokoh yaitu Pak Dirga sebagai lurah baru dan Pambudi sebagai
pengelola lumbunhg padi. Berikut kutipan yang diambil dari novel terkait adanya
perselisihan antara kedua tokoh itu.
“ Nanti dulu, Pak. Jadi orang ini tidak
akan diberi kesempatan untuk berobat ke Yogya?” kata Pambudi seraya
bangkitbdari duduknya.
“ Lho, kenapa kenapa kau bertanya begitu?
Sudah lama kau mengurus lumbung, bukan?(............................). ( hal
22-27 ).
Kemiskinan
Kemiskinan
disini merupakan salah satu bentuk permasalahan sosial dalam novel Dikaki Bukit
Cibalak ini. Dimana seorang tokoh bernama Mbok Ralem menderita kangker
tenggorokan, yang mana ia hanya masyarakat miskin yang tak punya apa-apa. Hal
ini bisa dilihat dari kutipan novel berikut.
“ Berapa luas sawah
yangkau garap, Mbok?”
“ Oalah, Nak, aku
tak mempunyai sawah sedikitpun.(......)
“ Pasti tidak cukup, Nak, sebab kata Pak
mantri, aku harus berobat ke Yogya.” (..........). ( hal 20 ).
Kedengkian
Kedengkian ini
terjadi pada diri Pak Dirga terhadap Pambudi, dan ia pun berniat untuk
mendepaknya dari Desa Tanggir, dengan cara menemui seorang dukun bernama Eyang
Wira. Berikut kutipan yang menyatakaan adanya kedengkian tersebut.
“ Dan sampean beruntung. Setiap untuk
menyingkirkannya dari Desa Tinggir (...)”. ( hal 62 ).
PENUTUP
Kesimpulan :
Berdasarkan
analisis novel Dikaki Bukit Cibalak ini khususnya menggunakan pendekatan
sosiologi sastra dapat diambil kesimpulan bahwa dapat ditemukan di dalam novel
Di Kaki Bukit Cibalak, namun yang dominan muncul adalah konflik sosial yang
terjadi di desa Tanggir. Konflik ini terjadi karena ketidakberesan pemerintahan
lurah desa Tanggir yang biasa dipanggil dengan nama Pak Dirga. Dari awal
kompetisi pemilihan lurah, dia sudah menunjukkan kecurangan yang akhirnya
mengantarkannya duduk sebagai lurah desa Tanggir. Setelah menjadi lurah, dia
melakukan penyelewengan dana kas lumbung koperasi desa Tanggir. Dia tidak mau
menolong Mbok Ralem yang notabennya warga miskin yang membutuhkan bantuan
pemerintah desa demi penyembuhan penyakitnya. Pak Dirga bersama Poyo (pengurus
lumbung desa Tanggir) melakukan manipulasi pada laporan keuangan lumbung
desanya.
Uang yang
seharusnya dialokasikan untuk keperluan masyarakatnya justru digunakan untuk kepentingan
pribadi Pak Dirga dan Poyo. Kedaan desa Tanggir semakin kacau dibawah
kepemimpinan Pak Dirga yang sangat tidak amanah. hal ini, kekuasaan dimiliki
oleh orang yang kuat, meskipun kekuatan itu adalah kekuatan yang penuh dengan
kelicikan dan kecurangan. Selain konflik politik yang penuh kecurangan, muncul
konflik batin. Konflik batin menjadi bagian yang peneliti amati karena dalam
konflik ini berimbas pada tindakan yang berkaitan dengan orang lain. Dalam
novel ini digambarkan suatu konflik batin yang dialami oleh Pambudi saat
memilih untuk mundur dari kepengurusan lumbung koperasi karena dia tidak
sepemikiran dengan pengurus lainnya dan lurah desa Tanggir. Namun, Pambudi
ingin membantu masyarakat desa Tanggir yang membutuhkan bantuan. Untuk solusi hal
ini, Pambudi memilih untuk membantu dengan caranya sendiri. Konflik lainnya
adalah konflik percintaan. Konflik ini dimunculkan oleh tokoh Sanis. Dia berada
di kondisi yang cukup rumit. Sanis yang merupakan gadis desa yang polos, yang
menaruh hati pada lelaki yang berumur jauh lebih dewasa darinya mulai terlibat
konflik percintaan ketika dia dipinang oleh Pak Dirga. Pak Dirga yang saat itu
sudah beristri Bu Runtah masih berkeinginan menikahi Sanis. Sanis maupun
ayahnya tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolak kehendak Pak Dirga karena
pada zamannya jabatan seorang lurah sangat ditakuti oleh warganya. Sehinga mau
atau tidak mau, Sanis harus tetap bersedia menjadi istri muda lurah Dirga. Di
sisi lain, anis masih memiliki rasa kepada Pambudi. Namun, ketika Pambudi pulang
ke Tanggir, ternyata Pambudi sudah menjalin hubungan dengan Mulyani. Selain
konflik-konflik tersebut, unsur sosiologis budaya dari novel ini juga sangat
menarik. Banyak nuansa Banyumas yang ditampilkan dalam novel Di Kaki Bukit
Cibalak. Dari setting tempat, novel ini berlatarkan lokasi di daerah kaki Bukit
Cibalak yang memang secara fisiknya ada di daerah Banyumas. Dari segi bahasanya
juga ada beberapa bahasa atau istilah dari Banyumas yang dimunculkan oleh
pengarang. Nama tokoh yang dimunculkan dalam cerita juga cukup identik dengan
nama-nama pada masyarakat Banyumas di zamannya. Selain itu didalam novel Dikaki
Bukit Cibalak terdapat bentuk-bentuk sosial, salah satu bentuk sosial tersebut
ialah berupa konflik-konflik sosial yang terjadi antar tokoh tertentu dalam
novel Dikaki Bukit Cibalak. Dimana bentuk sosial yang ada dalam novel Dikaki
Bukit Cibalak tidak jauh berbeda dengan bentuk sosial yang terjadi di kehidupan
nyata pada umumnya. Seperti kriminalitas, persaingan perebutan kursi kepemimpinan,
kemiskinan, kedengkian, dan lain sebagainya. ssi
Sinopsis
Pambudi adalah
seorang pemuda berusia 24 tahun yang tinggal di desa Tanggir, yakni sebuah desa
terpencil di daerah Bukit Cibalak. Ia bekerja sebagai pengelola koperasi desa
setempat. Namun, selang beberapa hari setelah pelantikan lurah baru Desa
Tanggir, Pambudi mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia merasa tidak sepaham
dengan lurah baru yang bernama Pak Dirga itu. Pak Dirga memiliki akal yang
licik dan kurang begitu dermawan terhadap warganya. Ia juga dikenal sebagai
pria yang memiliki banyak isteri. Ia terpilih menjadi lurah karena ia dianggap
lebih populer dan luwes ketimbang para pesaingnya.
Suatu ketika,
di kelurahan kedatangan seorang warga bernama Mbok Ralem. Ia berniat meminjam uang
di koperasi desa. Ia ingin mengobati benjolan yang menggembung di lehernya
hingga membuat nafasnya tercekat. Pambudi menyarankan untuk meminta ijin Pak
Dirga terlebih dahulu. Betapa kecewanya Mbok Ralem karena Pak Dirga menolak
memberi pinjaman. Bahkan kepada warga miskin seperti Mbok Ralem, Pak Dirga
pelit memberi bantuan. Padahal, Mbok Ralem benar-benar harus berobat. Ia janda
miskin yang tidak punya apa-apa. Kemana lagi ia harus minta tolong jika
pemimpinnya sendiri enggan menolongnya. Begitulah pikir Pambudi. Pambudi tahu
bahwa jumlah simpanan di lumbung koperasi yang diurusnya tidak akan terkuras
jika sedikit digunakan untuk pengobatan Mbok Ralem. Namun apa daya, pemimpinlah
yang berkuasa memberi keputusan.
Sejak
peristiwa itu, Pambudi mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia merasa tidak
pantas bekerja di tempat yang bertentangan dengan nuraninya. Hal yang ingin
dilakukannya yaitu menolong Mbok Ralem berobat. Hati nuraninya merasa iba
melihat nasib Mbok Ralem. Dengan uang tabungannya, Pambudi dan Mbok Ralem
berangkat ke Yogya untuk berobat. Setelah diperiksa dokter, hasil laboratorium
menyatakan bahwa Mbok Ralem terkena kanker. Pambudi terkejut dan semakin
kasihan kepada Mbok Ralem. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa agar Mbok Ralem
tidak memiliki beban pikiran.
Pambudi
mencari cara untuk menghasilkan uang. Pengobatan kanker memerlukan biaya yang
banyak. Bahkan surat kemiskinan tidak bisa meluluhkan hati dokter untuk merawat
Mbok Ralem secara cuma-cuma. Pambudi pergi ke kantor penerbit Kalawarta, sebuah
harian lokal di Yogya, dan bertemu pemimpinnya yang bernama Pak Barkah. Ia
meminta bantuan kepada Pak Barkah untuk memasang iklan dompet sumbangan untuk
pengobatan kanker Mbok Ralem. Pak Barkah mengulurkan bantuannya dan bersedia
mencantumkan iklan tersebut dalam harian Kalawarta.
Setelah
kemunculan iklan tersebut, banyak donatur yang mengirim wesel ke kantor harian
Kalawarta. Bantuan dana berdatangan untuk membantu pengobatan kanker Mbok
Ralem. Mbok Ralem mendapatkan perawatan kelas satu di rumah sakit dan bisa
sembuh dari kanker yang menyerangnya. Pambudi mengajak Mbok Ralem ke kantor
harian Kalawarta untuk mengucapkan terima kasih kepada Pak Barkah dan
staf-stafnya. Pak Barkah juga mengucapkan terima kasih kepada Pambudi, sebab
atas peran aktif Pambudi menyelamatkan sesama dan ide cemerlangnya membuat
iklan di harian Kalawarta, kini kepercayaan masyarakat terhadap Kalawarta
semakin meningkat dan daya minat pembaca pun meningkat. Kalawarta semakin
digandrungi oleh warga lokal. Inilah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan
dan Pak Barkah sangat mengapresiasi dan kagum terhadap sosok Pambudi.
Sekembalinya
ke Desa Tengger, nama Pambudi menjadi perbincangan di masyarakat. Banyak
masyarakat yang kagum terhadap usaha Pambudi menolong Mbok Ralem. Di sisi lain,
Pak Dirga merasa terhina oleh sikap Pambudi yang terkesan telah mencemarkan
nama baiknya sebagai lurah. Pak Dirga juga mendapat teguran dari Pak Camat dan
Bupati. Pak Dirga dicaci lantaran tidak bisa mengurus warganya dengan baik.
Gara-gara kelakuan Pak Dirga, Pambudilah yang mendapatkan kebanggaan dan nama
besar sebagai pahlawan, gelar populer yang seharusnya diterima oleh pemimpin
tetapi malah diterima oleh warga biasa seperti Pambudi. Hal itulah yang
menyebabkan Pak Dirga membenci Pambudi hingga ia tidak akan merasa puas jika
belum membalas dendam kepada Pambudi.
Upaya balas
dendam Pak Dirga kepada Pambudi telah dimulai. Pak Dirga menyebar isu bahwa
Pambudi berhenti dari pekerjaannya mengurus lumbung koperasi, lantaran Pambudi
telah menilap uang koperasi sebesar Rp. 120.000,- . Jumlah uang tersebut sangat
besar pada masa itu. Warga desa yang dulunya kagum dan bangga kepada Pambudi,
kini berbalik membencinya. Bahkan keluarga Pambudi juga dibenci dan dikucilkan
warga. Isu tersebut menjadi perbincangan hangat di masyarakat hingga mengusik
ketenangan orang tua Pambudi. Pambudi ingin menantang Pak Dirga untuk
membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Namun, orang tuanya mencegahnya. Orang
tuanya tidak ingin Pambudi menghadapi banyak masalah. Sebab warga Tanggir sangat
patuh terhadap pemimpin. Begitulah adat yang mereka lestarikan hingga sekarang.
Ayah Pambudi menyarankan agar ia pergi dari Desa Tanggir. Ia menyuruh Pambudi
untuk mengalah dan menghindari masalah. Melihat beban batin yang dialami orang
tuanya, Pambudi hanya bisa menuruti nasihat mereka. Ia akhirnya pergi
meninggalkan desanya.
Pambudi
memutuskan pergi ke Yogya untuk tinggal bersama temannya bernama Topo di sebuah
kos-kosan kecil. Topo adalah mahasiswa yang kuliah di Yogya. Sewaktu SMP dan
SMA mereka berteman akrab. Setelah bercerita panjang lebar, Topo bisa memahami
masalah yang dihadapi Pambudi. Topo menyarankan agar Pambudi melanjutkan
kuliahnya di Yogya. Pambudi berpikir bahwa ide itu sangat gila. Namun, dorongan
Topo yang begitu kuat membuat Pambudi yakin untuk melanjutkan kuliah. Karena
ujian masuk perguruan tinggi masih lama, Pambudi bisa belajar dan mempersiapkan
diri untuk mengikuti tes tertulis. Di sela-sela persiapannya, ia juga bekerja
di sebuah toko arloji milik orang China. Di sana ia berkenalan dengan anak
majikannya yang bernama Mulyani yang waktu itu masih duduk di bangku kelas 2
SMA. Mereka bersahabat dan sering mengisi waktu untuk bermain teka-teki
bersama.
Rupanya
Mulyani telah menaruh hati kepada Pambudi. Ia sangat pandai menutupi perasaannya.
Hubungan mereka berjalan hanya sebatas pertemanan. Setelah bekerja di toko
arloji beberapa bulan lamanya, Pambudi mengundurkan diri lantaran ia telah
diterima bekerja di harian Kalawarta oleh Pak Barkah. Ia juga telah diterima
sebagai mahasiswa Fakultas Teknik. Mulyani sedih karena ia akan jarang bertemu
dengan Pambudi. Tapi ia hanya bisa memberi semangat dan dukungan terhadap
keputusan Pambudi. Tak lama lagi ia akan meneruskan kuliah di tempat Pambudi
kuliah dan mereka akan semakin sering bertemu. Begitulah pikiran Mulyani yang
begitu memendam perasaannya kepada Pambudi.
Pambudi telah
resmi menjadi jurnalis di harian Kalawarta. Ia membuat gebrakan baru dan
menyalurkan ide-ide cemerlangnya untuk mengangkat Kalawarta menjadi harian yang
lebih dikenal. Pak Barkah sangat memuji keahlian Pambudi. Tulisan-tulisan
Pambudi banyak diminati masyarakat. Pambudi juga sering menulis tentang Desa
Tanggir dan persoalan-persoalan yang dihadapi desa kecil itu. Tulisannya juga
menguak tentang ketidakadilan pemimpin desa itu. Tak jarang tulisan Pambudi
membuat garang pejabat setempat. Terutama Pak Dirga. Ia semakin tidak disenangi
oleh atasannya. Akhirnya, Pak Dirga diberhentikan dari jabatannya.
Setelah sekian
lama Pambudi mengasingkan diri di Yogya, ia kembali ke Desa Tanggir untuk
menjenguk orang tuanya. Ia berniat untuk mengabarkan berita kelulusannya dan
membuat orang tuanya bangga. Sampai di rumah, ia mendapat kabar duka bahwa
ayahnya telah meninggal. Hal yang disesalinya adalah ia belum sempat mengatakan
kepada ayahnya bahwa ia telah menjadi sarjana. Ia telah ikhlas dengan kepergian
ayahnya, karena baginya kematian merupakan hal yang sudah sewajarnya terjadi.
Di pemakaman
ayahnya, Pambudi bertemu dengan Sanis, gadis yang dulu amat sangat dicintainya.
Namun sayang, diusianya yang baru menginjak 17 tahun, ia kini telah
menjadi janda dari Pak Dirga. Pambudi sudah tidak menyukai Sanis lagi. Mereka
hanya saling menyapa dan bertanya kabar. ssi
Di rumah,
Pambudi dikejutkan dengan kedatangan Mulyani. Mulyani mengutarakan duka citanya
dan ia mengajak Pambudi pergi ke suatu tempat. Di tempat sepi, Mulyani
mengutarakan perasaanya kepada Pambudi. Ia merasa malu karena sebagai seorang
wanita ia tak seharusnya mengutarakan perasannya terlebih dulu. Namun, ia tidak
sabar menunggu pengakuan Pambudi. Sebenarnya, Pambudi sudah mulai menyukai
Mulyani sejak mereka sering bertemu. Pambudi tahu mereka berdua memiliki
perbedaan. Mulyani anak orang kaya sedangkan Pambudi hanya anak orang biasa
yang tinggal di desa kecil. Pambudi merasa tidak pantas untuk memiliki perasaan
kepada Mulyani. Mulyani terus meyakinkan Pambudi tentang kebenaran perasaan
mereka. Begitulah, hingga seterusnya mereka semakin sering bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, S.
(2011). Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
CAPS.
Faruk. (1999).
Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurniawan, H.
(2012). Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Teeuw, A.
1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
0 komentar:
Posting Komentar