Cerpen LINGUAE karya Seno Gumira Ajidarma
Seperti cinta,” kataku. “Ya. Seperti
cinta,” katanya.
Dalam remang, entah pagi entah siang
entah sore entah malam, kami terus menerus saling menguji daya cinta lidah
kami. Selalu remang. Hanya remang. Lebih baik remang—karena cinta yang jelas
dan terang, yakin dan pasti, bersih dan steril, seperti bukan cinta lagi. Jadi
memang tak bisa kulihat wajahnya dengan jelas—apakah yang masih bisa
dilihat dari sebuah wajah yang terlalu dekat, begitu dekat, sehingga tak
berjarak, ketika saling menguji lidah, selain ketakjelasan dalam keremangan
dengan cahaya lembut yang berusaha menerobos gorden?
Mungkin itu sebabnya aku lebih
sering ingat gorden daripada wajahnya, karena hanya dari balik gorden itu
datang cahaya yang hanya membuat ruang menjadi temaram. “Tutup matamu,”
katanya. Kupejamkan mataku dan kutahu ia memejamkan matanya. “Berikan cintamu,”
katanya dan kupersembahkan cintaku dalam percakapan tanpa kata karena lidah
kami menyatakan segalanya dengan lebih nyata daripada kata-kata dalam tatabahasa
sempurna mana pun di dunia.
***
“Jangan bicara,” katanya —tapi
bicara juga menyenangkan sebenarnya. Artinya bicara dengan tangan bergandengan
sambil menatap langit-langit. Memang, hanya langit-langit, dan bukan
langit—karena mereka yang bercinta dalam keremangan semesta tak akan pernah
mengenal langit, yang bersih dan terang, dengan matahari dan awan, maupun
bintang-bintang dan rembulan. Tak akan pernah. Hanya langit-langit dan di
langit-langit tak ada rembulan maupun matahari, hanya sepasang cicak berlari-lari.
“Jangan bicara,” katanya. Jangan
bicara tentang cinta maksudnya—karena cinta lebih baik di alami dan dinyatakan,
tidak usah dirumuskan.
Maka kami pun berbicara dengan
bergandengan tangan sambil menatap langit-langit dalam keremangan hanya
keremangan selalu keremangan dan tiada lain selain keremangan.
Apakah yang bisa dibicarakan dalam
keremangan? Banyak. Diantara yang banyak adalah impian—yang seperti semua
impian lain tak akan pernah jelas bisa menjadi kenyataan atau tetap tinggal
sebagai impian.
Namun bahkan suatu impian yang hanya
diperbincangkan ternyata bias membahagiakan.
“Katakanlah tentang cinta,” katanya.
Namun kami tak akan bicara tentang cinta. Kami akan bicara tentang sebuah rumah
terpencil ditepi sebuah danau di dataran tinggi. Danua itu tentunya akan tampak
kebiru-biruan, dengan gunung gemunung yang ungu di kejauhan dan setiap hari
kami akan makan ikan.
Kami akan hidup berdua saja, hanya
berdua, tiada lain selain berdua selama sisa hidup kami karena tidak akan
banyak lagi waktu tersisa. Setiap hari aku akan memakai sarung dan ia akan
berkain kebaya—tidakkah memang indah membayangkan diri hidup bersama dengan
seseorang yang benar-benar kita cintai sepenuhnya dan tiada lain selain
dia? Aku sering terpana menyadari betapa dunia dan segala urusannya menjadi
tidak terlalu penting selama kita mendapatkan cinta. Masalahnya, begitu sering
orang yang mendambakan cinta tetapi tidak mendapatkannya malah mengacaukan
dunia.
Keindahan dalam keremangan, masihkah
akan tetap indah dalam dunia yang bersih dan terang?
Ketika berpisah, aku hanya akan
teringat bahunya yang telanjang dalam keremangan. Bahu, pundak, dan lehernya
yang telanjang— yang kukira aku tahu betul rasanya.
***
Menunggu dia yang entah berada
dimana dan sedang apa.
Aku tidak pernah keberatan menunggu
siapapun berapa lamapun selama aku mencintainya. Menunggu adalah bagian dari
pertemuan itu sendiri. Kalau kita ketemu hanya lima menit dan menunggu selama
95 menit maka itu berarti pertemuan berlangsung 100 menit. Perpisahan pun
sering tidak berarti apa-apa—seperti tidak pernah ada perpisahan bagi orang
yang saling mencintai. Mereka saling memaki ketika bertemu tetapi tetap saling
mengenang ketika berpisah. Perpisahan yang sebenarnya akan terjadi ketika tidak
pernah ingat lagi kepada seseorang meskipun kita hidup bersamanya. Juga jika
seseorang sudah mati, selama kita masih mengingat dan mengenangnya berarti
tiada perpisahan sama sekali.
Namun menunggu adalah menunggu. Lima
menit bias menjadi 500 tahun —dan waktu yang kosong bisa diisi sejarah berabad-abad.
Dulu dia hanya duduk disana, menoleh
padaku, menyebut namaku dengan nada bertanya, dan mengajukan tangannya untuk
bersalaman, sambil menyebutkan namanya.
“Kenapa tidak saat itu saja kita
menguji kepekaan lidah kita akan cinta? Kenapa harus menunggu begitu lama untuk
mengembara dalam dunia yang begitu remang terlalu remang taram temaram untuk
memahami betapa lidah begitu penting tidak hanya untuk berkata-kata melainkan
justru ketika tidak perlu mengatakan apa-apa?”
Itulah dia. Kenapa tidak sejak pertemuan pertama dia berkata, “Sentuhlah aku dengan lidahmu..”
Itulah dia. Kenapa tidak sejak pertemuan pertama dia berkata, “Sentuhlah aku dengan lidahmu..”
“Ya, kenapa tidak? Kenapa tidak kamu
saja yang bicara begitu?” katanya.
“Kalau aku bilang ’Sentuhlah aku dengan lidahmu’ apakah kau akan menyentuhku dengan lidahmu?”
Ia tidak menjawab saat itu, hanya menyentuh lidahku, dengan lidahnya.
Aku masih menunggu dia yang entah berada dimana dan sedang apa.
“Kalau aku bilang ’Sentuhlah aku dengan lidahmu’ apakah kau akan menyentuhku dengan lidahmu?”
Ia tidak menjawab saat itu, hanya menyentuh lidahku, dengan lidahnya.
Aku masih menunggu dia yang entah berada dimana dan sedang apa.
Aku berpikir apakah yang membuat
kita yakin bahwa kita benar-benar mencintai seseorang dan tidak sekedar
menyukai lidahnya.
***
Aku bermimpi buruk. Suatu hari aku
bangun tanpa lidah. Bukan soalnya apakah aku tidak mampu bicara, karena bagiku
tidak berbicara adalah menghemat tenaga. Namun bagaimana aku akan menyentuh,
meraba, dan menyatakan sesuatu kepada seseorang yang sangat kucintai dengan
lidah jika aku tak berlidah? Cinta mungkin tidak perlu kata-kata tetapi aku
tidak tahu bagaimana nasib cinta jika para pecinta kehilangan lidahnya. ssi
Bisakah dikatakan bahwa cinta berada
dalam masalah ketika lidah tak lagi berperan di dalamnya? Aku tak tahu apakah
ada filsuf yang pernah berbicara tentang lidah dengan segala kemanusiaan yang
paling mungkin dihadirkan oleh keberadaan lidah itu. Dalam roman picisan sering
dituliskan: Ia menyelusuri tubuh kekasihnya itu dengan lidahnya dan kekasihnya
merasa telah berada dalam kereta kencana bersayap yang melaju diatas sungai
susu di langit ke tujuh …
Mungkinkah suatu hari aku akan
terbangun betul-betul tanpa lidah? Bukan soalnya bahwa dalam hidup ini suara
kita sering dibungkam dan kata-kata kita dianggap merusak ketenangan, melainkan
justru karena terlalu banyak hal yang tak terkatakan hanya bisa disampaikan
melalui lidah. Artinya memang lidah itu tak tergantikan.
“Apakah kamu masih akan mencintaiku
kalau aku suatu hari bangun tanpa lidah dan tidak bisa lagi menyatakan cinta
dan menyentuhmu dengan lidahku?”
“Kalau kamu?” Ia balik bertanya,
sambil menjulurkan lidahnya.
Kalau ia tidak berlidah? Aku
teringat cerita tentang Sasuke, seorang pelayan yang menjalin hubungan
cinta terselubung dengan shunkin, perempuan majikannya. Suatu penganiayaan oleh
saingannya dalam karir sebagai pemain shamisen telah membuat shunkin buta. Atas
nama cinta, meski tidak pernah menyatakannya, Sasuke lantas membutakan matanya
sendiri.
Menurutku itu memang kebersamaan
cinta yang luar biasa. Kalau aku ingin seperti Sasuke, aku tentu harus
memotong lidahku. Sanggupkah aku?
Apakah sentuhan cinta terindah hanya
bisa disampaikan oleh lidah? Tidak bisakah cinta disampaikan oleh tungkak?
Kukira aku sedang tidak ingin
memikirkannya.
Pondok Aren, Selasa 10 Mei 2005.
16:25
0 komentar:
Posting Komentar