NAMA: SENO GUMIRA AJIDARMA
Lahir: Boston, 19 Juni 1958
Pendidikan Formal:
1994 – Sarjana, Fakultas Film & Televisi, Institut Kesenian Jakarta
2000 – Magister Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia
2005 – Doktor Ilmu Sastra, Universitas
Indonesia
Penghargaan yang pernah di peroleh, antara lain:
1987 – SEA Write Award
1997 – Dinny O’Hearn Prize for Literary
2005 – Khatulistiwa Literary Award
Aktivitas dan kesibukan: Wartawan, Fotografer, Dosen, dan tentu saja
Penulis
PROFIL
Seno Gumira Ajidarma
Sumber: TEMPO
Ayahnya Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas MIPA Universitas
Gadjah Mada. Tapi, lain ayah, lain pula si anak. Seno Gumira Ajidarma bertolak
belakang dengan pemikiran sang ayah. Walau nilai untuk pelajaran ilmu pasti
tidak jelek-jelek amat, ia tak suka aljabar, ilmu ukur, dan berhitung. “Entah
kenapa. Ilmu pasti itu kan harus pasti semua dan itu tidak menyenangkan,” ujar
Seno. Dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, Seno gemar membangkang
terhadap peraturan sekolah, sampai-sampai ia dicap sebagai penyebab setiap
kasus yang terjadi di sekolahnya. Waktu sekolah dasar, ia mengajak
teman-temannya tidak ikut kelas wajib kor, sampai ia dipanggil guru. Waktu SMP,
ia memberontak: tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, yang lain
pakai baju putih ia pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong. “Aku
pernah diskors karena membolos,” tutur Seno.
Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, Seno tidak mau sekolah. Terpengaruh
cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal
Jerman Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Seperti di film-film:
ceritanya seru, menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu mocasin, sepatu
model boot yang ada bulu-bulunya. Selama tiga bulan, ia mengembara di Jawa
Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang gelarnya
profesor doktor. Lancar. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan.
Karena kehabisan uang, ia minta duit kepada ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket
untuk pulang. Maka, Seno pulang dan meneruskan sekolah.
Ketika SMA, ia sengaja memilih SMA yang boleh tidak pakai seragam. “Jadi aku
bisa pakai celana jins, rambut gondrong.”
Komunitas yang dipilih sesuai dengan jiwanya. Bukan teman-teman di lingkungan
elite perumahan dosen Bulaksumur (UGM), rumah orangtuanya. Tapi, komunitas
anak-anak jalanan yang suka tawuran dan ngebut di Malioboro. “Aku suka itu
karena liar, bebas, tidak ada aturan.”
Walau tak mengerti tentang drama, dua tahun Seno ikut teater Alam pimpinan
Azwar A.N. “Lalu aku lihat Rendra yang gondrong, kerap tidak pakai baju, tapi
istrinya cantik (Sitoresmi). Itu kayaknya dunia yang menyenangkan,” kata Seno.
Tertarik puisi-puisi mbeling-nya Remy Sylado di majalah Aktuil Bandung, Seno
pun mengirimkan puisi-puisinya dan dimuat. Honornya besar. Semua pada ngenyek
Seno sebagai penyair kontemporer. Tapi ia tidak peduli. Seno tertantang untuk
mengirim puisinya ke majalah sastra Horison. Tembus juga. “Umurku baru 17
tahun, puisiku sudah masuk Horison. Sejak itu aku merasa sudah jadi penyair,”
kata Seno bangga.
Kemudian Seno menulis cerpen dan esai tentang teater.
Jadi wartawan, awalnya karena kawin muda pada usia 19 tahun dan untuk itu ia
butuh uang. Tahun itu juga Seno masuk Institut Kesenian Jakarta, jurusan
sinematografi. “Nah, dari situ aku mulai belajar motret,” ujar pengagum
pengarang R.A. Kosasih ini.
Kalau sekarang ia jadi sastrawan, sebetulnya bukan itu mulanya. Tapi mau jadi
seniman. Seniman yang dia lihat tadinya bukan karya, tetapi Rendra yang santai,
bisa bicara, hura-hura, nyentrik, rambut boleh gondrong. “Tapi, kemudian karena
seniman itu harus punya karya maka aku buat karya,” ujar Seno disusul tawa
terkekeh. ssi
Sampai saat ini Seno telah menghasilkan puluhan cerpen yang dimuat di beberapa
media massa. Cerpennya Pelajaran Mengarang terpilih sebagai cerpen terbaik
Kompas 1993. Buku kumpulan cerpennya, antara lain: Manusia Kamar (1988),
Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi
(1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999).
Karya lain berupa novel Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Pada tahun
1987, Seno mendapat Sea Write Award. Berkat cerpennya Saksi Mata, Seno
memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997.
Kesibukan Seno sekarang adalah membaca, menulis, memotret, jalan-jalan, selain
bekerja di Pusat Dokumentasi Jakarta-Jakarta. Juga kini ia membuat komik. Baru
saja ia membuat teater.
Pengalamannya yang menjadi anekdot yakni kalau dia naik taksi, sopir taksinya
mengantuk, maka ia yang menggantikan menyopir. Si sopir disuruhnya tidur.
0 komentar:
Posting Komentar