ANALISIS
PUISI BERDASARKAN STRATA NORMA ROMAN INGERDEN DALAM PUISI “KARENA KATA” KARYA
SAPARDI DJOKO DAMONO
Karena
Kata
(Sapardi
Djoko Damono)
Karena
tak dapat kutemukan
Kata
yang paling sepi
Kutelantarkan
hati sendiri
Karena tak dapat kuucapkan
Kata yang paling rindu
Kubiarkan hasrat membelenggu
Karena
tak dapat kuungkapkan
Kata
yang paling cinta
Kupasrahkan
saja dalam doa
1. Lapis
bunyi
Lapis bunyi ini
terdiri dari asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal
yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi.
Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau
keindahan bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang
sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang
berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
a. Dalam
bait pertama terdapat asonansi “a” dan “i” pada kata “karena”, “tak”, “dapat”,
“kata”, “paling”, “sepi”, “hati”, “sendiri”. Terdapat juga aliterasi “t” pada
kata “tak”, “dapat”, “kata”, “kutelantarkan”, “hati”
b. Dalam
bait kedua terdapat asonansi “i” dan “u” pada kata “paling”, “rindu”,
“kubiarkan”, “kuucapkan”, “membelenggu”. Aliterasi “ng” pada kata “yang”,
“paling”, “membelenggu”.
c. Dalam
bait ketiga terdapat asonansi “a”, “i”, “u” pada kata “karena”, “tak”, “dapat”,
“saja”, “doa”, “paling”, “cinta”, “kuungkapkan”, “kupasrahkan”.
2. Lapis
arti
Setiap diksi dalam puisi telah
melalui pemilihan kata yang demikian ketat oleh penyair. Hal itu sangat mungkin
disebabkan oleh pemadatan yang menjadi salah satu ciri puisi. Pemilihan diksi
tersebut akhirnya mengakibatkan impres tertentu pada pembacanya. Lapis arti
(units of meaning) ialah arti yang terdapat dalam tiap satuan sajak. Mulai dari
fonem, kata, kalimat, dan seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:17). Lapis
arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika. Dengan menggunakan
lapis ini, arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu
dengan dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya.
a. Bait
pertama dapat diartikan bahwa tiada kata yang dapat mewakili keadaan yang
begitu sepi sehingga pengarang memutuskan untuk pasrah dengan hati yang
terlantar.
b. Bait
kedua memiliki arti pengarang tak dapat menemukan kata yang melebihi arti dari
kata rindu, sehingga pengarang memutuskan untuk membiarkan hatinya terbelenggu.
c. Bait
ketiga dapat dimaknai bahwa kata cinta masih belum dapat mewakili perasaannya
yang begitu mendalam, sehingga pengarang memasrahkan semuanya pada doa – doa
yang dipanjatkan.
3. Lapis
pengarang
Wujud dari lapis ketiga ini ialah
objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku, dan dunia
pengarang. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang
diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara
objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur).
(Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono
adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka, yang dikenal lewat berbagai
puisi-puisinya, yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di
antaranya sangat populer. Dalam puisi diatas pengarang memberikan dengan jelas
bahwa objek yang ditekankan adalah perasaan – perasaan yang begitu mendalam
sehingga tak mampu di ungkapkan dengan kata – kata yang ada.
4. Lapis
dunia
Lapis pembentuk makna dalam sajak
ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko
Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari
peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bait – bait diatas pengarang
menggambarkan bahwa banyak sekali perasaan – perasaan yang tak mampu di
ungkapkan dengan kata – kata. Yang pada akhirnya hanya ada perasaan pasrah dan
doa yang terpanjat.
5. Lapis
metafisik
Lapisan ini disebut juga lapis
metafisik yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo,
2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisik adalah abstraksi yang menangkap
unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya
sastra, metafisik merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat
memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji.
Dalam puisi “Karena Kata” karya Sapardi
Djoko Damono diatas pengarang seolah berpesan bahwa rasa berserah diri adalah
jalan yang terbaik atas segala apapun yang kita rasakan. Pada larik terakhir
puisi, pengarang menekan sisi religius dengan memasrahkan segalanya pada
untaian doa yang dipanjatkan kepada sang pemberi kehidupan.
Komentar saya cuma satu. Puisi ini bukan karya Sapardi Djoko Damono tapi karya AGS Arya Dipayana.
BalasHapusYes,setuju! Puisi ini bukan karya Sapardi Djoko Damono,tolong di koreksi admin!
Hapus