Cerpen Pelajaran Mengarang karya Seno Gumira Ajidarma
Pelajaran mengarang sudah dimulai.
Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu
Guru Tati.
Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru
Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul
kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul
ketiga “Ibu”.
Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening
berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang
tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang
tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih
panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah
kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup
angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan
yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena
Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga
Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke
Rumah Nenek”, “Ibu”. Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa
mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa
bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang
ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan
yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra
mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.
Ketika berpikir tentang “Keluarga
Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang
berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di
meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran
diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung.
Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus
mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara dalam ingatannya, yang ingin selalu
dilupakannya.
Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus
dibayangkanya tentang sebuah keluarga yang berbahagia.
“Mama, apakah Sandra punya Papa?”
“Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan
kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk
hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”
Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia
tak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.
Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas.
Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan yang
masuk kedalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan
dimuka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya
dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya.
Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.
“Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja,
tapi awas, ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa,
ngerti? Awas!”
Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia.
Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia
Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada
Mami itu kalau keluar kota berhari-hari entah ke mana.
Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang
dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras,
tapi Mami itu melarangnya nonton.
“Anak siapa itu?”
“Marti.”
“Bapaknya?”
“Mana aku tahu!”
Sampai sekarang Sandra tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk
diruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menujuk-nunjuk mereka.
“Anak kecil kok dibawa kesini, sih?”
“Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya
sendirian dirumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”
Sandra masih memandang keluar jendela. Ada langit biru diluar sana. Seekor
burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.
***
Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang “Ibu”. Apakah ia
akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang
wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai
tangan dan kaki kanannya selalu naik keatas kursi.
Apakah wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat
wanita itu menangis sendirian.
“Mama, mama, kenapa menangis, Mama?”
Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra.
Sampai sekarang Sandra masih mengingat kejadian itu, namun ia tak pernah
bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan “Diam, Anak Setan!” atau “Bukan urusanmu, Anak Jadah” atau “Sudah untung kamu ku kasih makan dan ku sekolahkan baik-baik.
Jangan cerewet kamu, Anak Sialan!”
Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang
depan ia muntah-muntah dan tergelatak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel
muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai
ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.
“Mama kerja apa, sih?”
Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah
bahasa yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.
Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu
wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke plaza itu. Di sana
Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng.
Dan setiap kali makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan
seprti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan
es krim sambil berbisik, “Sandra,
Sandra …”
Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita dari
sebuah buku berbahasa inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan
cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi
anak baik-baik.
“Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik,
Sandra.”
“Seperti Mama?”
“Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama.”
Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak
yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih
sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka, berkelebatan di benak
Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluaran asap, mulut yang selalu
berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager …
Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya.
Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri dimuka cermin, wanita
itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.
DITUNGGU DI MANDARIN
KAMAR: 505, PKL 20.00
Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar, dan
sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak
pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu Sandra akan merasa sangat
merindukan wanita itu. Tapi, begitulah , ia sudah belajar untuk tidak pernah
mengungkapkanya.
***
Empat puluh menit lewat sudah.
“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu
guru Tati.
Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa
setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan
yang teralalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Bebarapa
diantaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari keluar
kelas.
Sandra belum tahu judul apa yang harus ditulisnya.
“Kertasmu masih kosong, Sandra?” Ibu Guru
Tati tiba-tiba bertanya.
Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi, begitu Ibu
Guru Tati pergi, ia melamun lagi. Mama, Mama, bisiknya dalam hati. Bahkan dalam
hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.
Ia juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena
dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira ia masih tidur.
Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah
mendengar suara lenguhnya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang.
Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya
terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali.
Wanita itu tak mendengar lagi ketika dikolong ranjang Sandra berbisik
tertahan-tahan “Mama, mama …” dan
pipinya basah oleh air mata.
“Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.
Semua anak berdiri dan menumpuk karanganya di meja guru. Sandra
menyelipkan kertas di tengah.
Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga
memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan
karangan itu, Ibu guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa
kanak-kanak yang indah.
Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat
sepotong:
Ibuku seorang pelacur…
0 komentar:
Posting Komentar